Story

Gelas Plastik dan Malam Sendu Itu

Aku menatap matanya yang tertutup. Bulu mata yang lentik serta alis yang tebal membingkai matanya dengan indah. Parasmu yang biasanya tegas dengan kebiasanmu memicingkan mata, seakan melunak meninggalkan jejak-jejak kerutan halus pada dahimu. Mataku kembali turun ke bibirmu, bibir penuhmu yang sering bertukar kata yang tak terucap dengan bibirku, seperti memainkan nada yang hanya antara diriku dan dirimu yang tau. Sebutir peluh kecil berjalan di samping bibirmu. Peluh yang berasal dari rambutmu yang halus dan berantakan. Aku senang sekali menancapkan ujung jariku ke rambutmu, apalagi ketika kau sedang memberikanku kebahagiaan duniawi yang membuat deru nafasku tak beraturan.

 

Dulu aku tidak akan pernah menyangka bisa berada sedekat ini denganmu, apalagi sampai merasakan setiap inchi kulitmu melebur menjadi satu dengan kulitku. Tak terbayang padaku dulu bahwa, aku menyukai saat di mana aku membenamkan wajahku ke dada telanjangmu yang bidang, menghirup aroma keringat bercampur parfum yang sudah familiar menemaniku belakangan ini. Setiap hirupan akan aromamu membuatku mengingat bagaimana masa lalu kita waktu itu. Sejujurnya aku lupa bagaimana kita bertemu, apakah aku yang pertama kali menjulurkan tanganku ataukah kamu? Dan bagaimanakah rupamu waktu itu? Tidak sedikitpun ingatan mengenai dirimu membekas pada otakku.

 

Mungkin ingatan tentangmu baru terbentuk ketika momen itu terjadi. Momen di mana aku tidak tau apakah aku perlu berterima kasih atau menyalahkannya atas satu, dua, tiga gelas minuman yang memberikan kita jalan untuk mendekat. Seperti ada magnet dengan dua kutub yang berbeda, utara dan selatan, pada setiap gelas kita, membuat kita semakin mendekat sedikit demi sedikit hingga tidak ada lagi batasan ketika kita bersama. Tapi apakah benar hanya karena gelas tersebut? Atau apakah ada hal lain yang membuat kita bisa menjadi seperti ini? Mungkin seperti takdir semesta yang sedang bekerja di atara kita berdua.

 

Ah… tapi ngomong-ngomong soal takdir, bukannya kamu tidak percaya akan hal itu? Kamu pernah berkata padaku bahwa semua yang terjadi pada hidup kita adalah sebuah pilihan yang memang kita tentukan sendiri serta atas hasil kompromi dengan semesta. Tidak ada takdir yang memang sudah tercatat dari kita lahir. Jika memang benar apa yang kamu katakan, maka kebersamaan kita bukanlah karena takdir yang sudah tercatat dari kita lahir, tetapi karena pilihan kita yang mengizinkan gelas-gelas itu untuk saling bertemu dan membentuk suatu ikatan sendiri.

 

Tubuhmu menggeliat di bawah pelukanku, dan kembali memelukku lebih erat. Tiba-tiba aku jadi teringat ketika pertama kali aku melihat air matamu terjatuh dari mata indahmu. Saat itu aku hanya bergeming, tidak tau apa yang harus aku lakukan. Kata-kata yang mungkin kamu ucapkan tanpa kamu pikir terlebih dahulu, kata-kata yang mungkin saja tidak mempunyai arti yang lebih, membuat hatiku sedikit berdesir. Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan, sehingga aku hanya menanggapinya dengan sebuah belaian halus pada rambutmu. Satu sentuhan yang melambangkan sejuta kata-kata yang tak terucap, dengan tatapan sendumu yang memiliki berjuta arti untuk diterjemahkan.

 

Aku menatap kembali raut wajahmu yang begitu tenang. Raut yang aku tunggu belakangan ini, raut yang aku nanti disetiap sambutan yang aku layangkan ketika kamu pulang. Tetapi hanya tatapan sendu itu yang aku lihat, tatapan sendu itu yang menyambutku. Aku hanya bisa memberikan pelukan hangat yang mungkin dapat membantumu untuk melupakan apa yang sedang terjadi padamu, dengan sedikit sentuhan-sentuhan lembut yang kamu suka pada pucuk kepalamu. Jika aku bisa memberikan hal yang lebih dari itu, aku akan memberikannya kepadamu saat ini juga. Tetapi aku tau, yang kau butuhkan saat ini dariku adalah sebuah sandaran untukmu melupakan hal tersebut.

 

Kamu pernah berkata bahwa hidup harus berdasarkan prioritas yang perlu kita bentuk, sebelum kita mengambil keputusan. Kalau seperti itu, apakah kamu sudah menjadi prioritas bagi hidupku? Karena sudah banyak momen penting hidupku yang aku lewatkan hanya untuk bersama dengan dirimu. Hanya untuk membuatmu kembali tersenyum dan meninggalkan tatapan sendu itu.

 

Tangan kiriku yang terbebas berusaha untuk menyentuh rambutmu, membelai kembali rambut halus itu. Matamu yang tertutup, terbuka dengan perlahan, menunjukkan matamu yang masih memerah. Melihatku yang sudah terbangun, membuat dirimu membentuk sebuah senyum simpul kecil. “Pagi,” suara serakmu memecahkan kesunyian yang ada. Sambutan pertama yang selalu aku nantikan setiap aku membuka mataku akhir-akhir ini.

 

Mungkin memang semesta tidak menyukai momen hangat yang sedang kita lalui, karena belum lama aku dan kamu bergantian memberikan tatapan hangat dan kecupan kecil itu, ponselmu berdering menunjukkan satu pesan. Dari nada yang sudah sangat aku kenali, tanpa perlu aku bertanya siapa pengirim pesan tersebut, aku sudah mengetahuinya. Apalagi ketika melihat dirimu yang langsung mengambil ponselmu dan melayangkan jari-jarimu pada layar ponsel itu. Aku tidak tau apakah aku mulai terganggu dengan pesan-pesan yang ia dapatkan itu? Jika tidak, mengapa darahku seperti mengalir dengan lebih derasnya saat ini?

 

Tapi apakah memang sudah seharusnya kita terbangun dan menghadapi hal yang nyata di luar sana? Aku tau, tanpa perlu aku bertanya pertanyaan itu dengan kencang, aku sudah tau bahwa memang sudah saatnya kita terbangun, menghadapi hal yang nyata di depan kita. Karena sebagaimanapun aku berusaha untuk menghentikan waktu atau menahanmu dipelukanku, semua itu tidaklah nyata. Kita tetap harus terbangun dan kembali kepada apa yang kita punya. Kamu dengan kehidupanmu, aku dengan kehidupanku.

 

Mungkin ini akan menjadi satu pesan terakhirku setiap aku ingin memulai hari-hariku, dan ketika aku melepaskan tubuhku dari pelukanmu setiap paginya:

 

Terima kasih untuk setiap malam yang kamu berikan kepadaku. Pergilah kamu ke dalam pelukannya, tetapi kembalilah padaku malam ini. Begitu juga diriku, aku akan kembali ke dalam pelukannya, dan kembali padamu malam nanti.

 

Dan jika aku ditanyakan kembali apakah aku menyalahkan dan menyesali gelas-gelas itu, maka jawabanku akan tetap sama, aku tidak menyesal dan aku berterimakasih karenanya. Dan semesta, apakah aku masih bisa merasakan momen hangat itu lagi hari ini?

Tagged

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *